Takdir Penjaja Koran



Seorang remaja laki-laki duduk bersandar di kursi sebuah halte. Tak seperti biasanya, kali ini tidak terlihat tumpukan koran-koran yang akan ditawarkan kepada pengemudi kendaraan setiap kali lampu lalu lintas menandakan tanda berhenti. Ia hanya duduk, melihat teman-teman satu profesi bekerja di seberang jalan. Sesekali ia menghisap rokok kreteknya yang hampir habis. Hanya duduk diam di antara kebisingan yang tak pernah menunjukkan jeda.

Aku mendekatinya. Mencoba mencari tau hal apa yang membuatnya hanya diam disana sementara aku tahu ia butuh uang untuk makan.

"Lu gak kerja gus?"

"Gak bang", jawabnya datar

"Terus lu mau makan apa ntar?"

"Belum kepikiran bang"

Aku terheran, "Gak Gus! Maksud abang, biasanyakan lu paling rajin di antara anak-anak lain. Sekarang kenapa lu yang males?"

Agus menghisap rokoknya dengan tarikan panjang. Kemudian menghembuskan perlahan ke arah atas, menikmati asap terakhir. 

"Bang!" Panggilnya. Membuatku mengarahkan pandangan ke arahnya, walau ia tak menatapku, "Abang percaya sama takdir?"

"Takdir?", Aku semakin yakin kalau ia sedang bermasalah hari ini, "Harus dong Gus, Tuhan mewajibkan kita buat percaya. Kan ada di rukun iman", jawabku

Agus menginjak puntung rokok yang telah habis, "Kalau semuanya udah ditakdirkan, dan kita harus percaya sama takdir, terus kenapa kita harus kerja bang?"

Aku masih diam, Agus melanjutkan "kan percuma aja, kalau aku jualan tiap hari tapi ternyata takdirku emang jadi anak yatim piatu yang miskin. Iya kan bang?"

Aku berdiri dari kursi, mendekat ke Agus "Lu tau ustad Bakri yang tinggal dekat rumah abang?"

"Tau bang. Apa hubungannya?" Agus terlihat bingung

"Beliau yang hari-harinya sholat di masjid, ngajar anak-anak TPA, terus paling rajin ikut gotong royong tiap minggu, kira-kira menurut lu dia percaya sama takdir gak?"

"Pasti lah bang, dia kan kuat agamanya"

"Dan tau gak kalau beliau mau nyebrang masih liat kanan kiri?"

"Iya lah bang, kalau gak liat-liat bisa ditabrak ntar. Gimana sih bang", Agus mulai nyolot

"Nah, itu jawabannya Gus", Aku menepuk pundak Agus, "Orang seperti beliau saja, yang beriman banget  masih berusaha Gus. Padahal dia tau, kalau sudah saatnya mati pasti mati, kalau tuhan belum mengizinkan ia mati, apapun yang menabraknya dia gak bakal mati. Begitu juga dengan jodoh, rezeki, dan takdir lainnya"

Agus hanya diam, Aku tidak tau entah apa yang ia pikirkan saat ini.

"Abang duluan ya, bisa telat ngampus nanti kalau kelamaan ngobrol. Kerja yang bener Gus!", Aku meninggalkannya sementara matanya masih mengikuti kemana tubuhku bergerak menjauh.

9 komentar:

  1. makasih ats masukannya gan semoga ini bermanfaat buat pemuda

    BalasHapus
  2. honestly, it's simple but right on the target
    keep it up (^_^)

    BalasHapus
  3. haha.. makasih saudari.. cuma mencoba ngegambarin pertanyaan temen kemaren di tulisan :D

    BalasHapus
  4. bagus banget ini cerita, memiliki makna tersendiri dan inpiratif banget

    BalasHapus
  5. huuhh kasian kesian kesien nih agus :""((

    BalasHapus

Pembaca yang baik adalah pembaca yang meninggalkan jejak komentarnya :D